Media massa yang merupakan salah satu sumber informasi bagi masyarakat ternyata juga bisa mengalami krisis bahkan gulung tikar. Penyebab hal tersebut ternyata juga beraneka ragam, mulai dari oplah yang turun drastis, tergantikan posisinya dengan media-media baru, mulai berkembangnya jurnalisme online, jumlah iklan yang menurun, manajemen media yang kurang benar, dan sebagainya. Dan semuanya itu sangat dekat sekali dengan kehidupan media.
Pada tahun 2008 yang lalu, di Amerika Serikat, salah satu penerbit surat kabar yang tergolong besar mengalami gulung tikar. Pernerbit surat kabar tersebut adalah Tribune Chicago. Penyebab gulung tikar perusahaan media tersebut ialah adanya lilitan utang sebesar US $ 13 Milyar. Ditengah krisis yang sedang melanda perusahaan tersebut, pendapatan iklan juga terus menurun.
Tak hanya Tribun, media dan penerbitan lain pun demikian. Penerimaan iklan yang turun praktis melanda semua surat kabar dan media masa lainnya di AS. Jumlah pembaca mulai beralih ke internet. Konsumen dan pemasang iklan juga menangguhkan pemasangan iklan karena resesi ekonomi. Sekalipun banyak surat kabar yang masih meraih untung, mereka kini harus ekstra ketat menghitung arus kas untuk pembayaran bunga dan cicilan utang. Utang pihak tribune begitu banyak sehingga membuat pihak tribun menjual beberapa media yang ia punyai seperti Newsday ke Cablevision Systems Corp.
Entah proses manajemen seperti apa yang dilakukan sehingga Tribune Chicago tersebut mengalami krisis. Sebenarnya ada beberapa perusahaan surat kabar yang juga bermasalah dengan utang mereka. Namun, berbeda dengan Tribune, mereka bisa bernegosiasi dengan kreditur dalam menyesuaikan kembali target pembayaran dengan menaikkan tingkat suku bunga.
Begitulah dunia bisnis dalam media, ternyata proses manajemen itu sangat erat kaitannya dengan keberlangsungan hidup media (dalam konteks ini penerbit). Pihak tribune seharusnya mencari strategi maupun taktik baru untuk kembali menancapkan kukunya di dunia penerbitan media. Namun berpindahnya konsumen ke media onlen juga merupakan masalah yang serius. Dan memang hal tersebut sepertinya tidak bias dipungkiri lagi ketika proses penyebaran informasi kian dipermudah dengan hadirnya teknologi yang semakin murah dan mudah untuk digunakan.
Sigid Kurniawan, 153070139 kelas A
Myanmar merupakan negara yang terletak di kawasan asia tenggara. Negara yang ini mempunyai luas yaitu 680 ribu km2 dengan populasi penduduk yang berkisar lebih dari 50 juta jiwa ini, Myanmar tergolong negara yang sedang berkembang. Negara ini berbatsan langsung oleh negara Cina, Laos, Thailand dan India. Sehingga 80% penduduk Myanmar merupakan keturunan suku Mongoloid, dam selebihnya merupakan pendatang dari India, Pakistan serta orang Eropa.
Dahulu negara ini bernama negara Burma, karena mengingat warga yang berdomisili di Burma tidak hanya suku etnis Burma, maka tanggal 18 Juni 1989 pemerintah yang sedang berkuasa pada saat itu mengganti Burma menjadi Myanmar. Hal itu dimaksudkan supaya warga etnis non Burma juga merasa sebagai bagian dari negara. Namun ternyata nama Myanmar tidak sepenuhnya diakui oleh beberapa negara internasional seperti Amerika, Inggris dan Irlandia. Perubahan tersebut dilakukan oleh pihak Junta militer. Junta militer merupakan sebutan dari bentuk rezim dengan pemerintahan dengan kediktatoran militer.
Pemerintah Junta Militer melakukan aksi kekerasan untuk membubarkan demo-demo besar ini, Pagoda-pagoda disegel, para demonstran ditahan, dan senjata digunakan untuk membubarkan massa. Banyak biksu ditahan, beberapa diyakini disiksa dan meninggal dunia. Sepanjang Gelombang protes terjadi belasan orang diyakini menjadi korban, termasuk seorang reporter berkebangsaan Jepang, Kenji Nagai, yang ditembak oleh tentara dari jarak dekat saat meliput demonstrasi. Kematian warga Jepang ini memicu protes Jepang pada Myanmar dan mengakibatkan dicabutnya beberapa bantuan Jepang kepada Myanmar.
Bicara tentang media di Myanmar, sejak Junta Militer mengambil alih kekuasaan di Myanmar. Ruang gerak pers terasa amat sangat dibatasi. Media digunakan sebagai alat propaganda, monopoli pihak oposisi. Pemerintah melakukan sensor ketat terhadap segala informasi yang masuk di Myanmar. Banyak sekali wartawan yang diciduk, dipenjara bahkan disiksa sampai mati karena mencoba memberitakan kritikan untuk pemerintah atau hal-hal yang bersifat memberikan persepsi negatif bagi pihak pemerintah.
Maka jika dilihat dari teori Pers Siebert-Peterson-Schramm, maka melihat fenomena yang ada di Myanmar, negara yang terletak di kawasan Asia Tenggara itu mempunyai sistem pers otoritarian. Segalam macam bentuk media yang memberitakan kabar ke massa harus mempunyai ijin dari pemerintah, seperti lisensi publikasi dan penyensoran isi berita. Tak jarang media juga digunakan sebagai alat propaganda serta alat monopoli yang paling bisa diandalkan. Perlakuan pemerintah yang keras terhadap pers yang tidak patuh juga menjadi indikasi jika sistem pers di negara ini adalah otoritarian.
Sistem Pers Otoritarian
Kelebihan :
- Konflik dalam masyarakat cenderung berkurang karena adanya pengawasan terhadap hal-hal yang dianggap dapat menyulut konflik yang ada dalam masyarakat, pers membentuk opini masyarakat bahwa seolah-olah kondisi bangsa tersebut stabil, harmoni, aman dan tentram
- Dengan sistem pers otoritarian, pemerintah mudah membentuk penyeragaman suatu kesepakatan akan suatu hal ,
- secara umum pada negara sedang membangun yang memerlukan kestabilan.
- Kendali masyarakat oleh pemerintah terasa ringan karena masyarakat tunduk oleh pemerintahan yang ada.
Kekurangan :
- Tekanan terhadap kebebasan individu, dimana kebebasan individu itu sangatlah dibatasi ruang geraknya.
- Sering kali terjadi pembredelan media bagi media yang tidak tunduk pada pemerintahan yang ada.
- Dalam sistem ini, negara tersebut akan cenderung sulit atau lama berkembang, sulit maju daripada negara lain yang menerapkan sistem pers yang tidak menganut keotoriteran.
- Akses informasi masyarakat yang bersifat seperti politik dan hukum, terasa akan sangat dibatasi.
- Kehidupan masyarakat akan terasa monoton dan seringkali terasa membosankan, karena ruang gerak untuk berekspresi sangatlah dibatasi.
- Kerap terjadi pennyensoran diberbagai informasi yang ada guna pembentukan opini masyarakat.
Sistem Pers Libertarian
Kelebihan :
- Adanya jaminan kebebasan berekspresi, mengeluarkan pendapat, mengritik dsb.
- Jarang sekali terjadi pembredelan media.
- Media terbebas dari sensor apapun.
- Dalam sistem ini, masyarakat dapat mendapatkan, mengakses informasi yang luas tanpa ada batasan dari siapapun.
- Kondisi masyarakat cenderung lebih maju daripada kondisi masyarakat dalam sistem pers otoritarian.
- Tingkat pendapatan rata-rata yang tinggi dalam pendapatan per kapita, dan tingkat pendidikan yang rata-rata hampir semua kondisi masyarakat melek-huruf.
Sistem Pers Otoritarian
Kelemahan :
- Bagi negara yang baru menerapkan sistem ini, konflik akan cenderung terjadi sebagai akibat dari pergantian suatu sistem yang lama dengan yang baru.
- Tak ada batasan kebebasan yang jelas, sehingga jika rasa lapang individu dalam menerima kritikan dari individu lain itu kurang, cenderung berakibat konflik.
- Jika tingkat pendidikan masyarakat rendah, masyarakat mudah untuk diperdaya akan sebuah informasi yang belum jelas kebenarannya.
- Keanekaragaman seperti budaya lokal yang seharusnya dipertahankan dan dilestarikan tampak seperti sedang mengalami kemerosotan. Karena masyarakat akan disibukkan dengan penggalian informasi yang terkini, modern, dan seringkali melupakan hal-hal seperti nilai-nilai dan kebudayaan yang sudah ada sejak dulu didalam masyarakat.
- Bagi negara yang baru menerapkan sistem ini, konflik akan cenderung terjadi sebagai akibat dari pergantian suatu sistem yang lama dengan yang baru.
Sigid Kurniawan
153070139
Kelas B
Sigid Kurniawan
153070139
Kelas B
Pers, sebuah kata yang ternyata menarik untuk diperbincangkan. Setiap negara mempunyai sistem pers yang berbeda-beda tergantung bentuk negara dan ideologi yang mereka anut. Di Indonesia sendiri, sistem pers yang dianut sering kali terasa berubah-ubah mengikuti pola pemerintahan yang ada. Zaman orde baru misalnya, nuansa ke otoritarian begitu kental terasa. Pers digunakan Suharto sebagai sebuah alat yang hadir sebagai penunjang dan pendukung negara dan pemerintahan. Bagaimana tidak, ruag gerak pers terasa sangat dibatasi. Disini Pers bertungsi secara vertical, dalam hal ini sang penguasa berhak menentukan dan mengatur apa yang akan diterbitkan atau diinformasikan pers untuk khalayak.
Bagi para penguasa yang ada, keanekaragaman yang ada dapat menimbulkan konflik dan ketidaksepakatan. Jika kita mencermati pemberitaan di media pada masa pemerintahan orde baru, seringkali media hanya menampilkan isu-isu hal yang bersifat positif/ keberhasilan saja. Jarang kita saksikan misalanya daerah A sedang terjadi konflik, liputan kriminal yang dipandang dapat mempengaruhi rasa persatuan dan persatuan bangsa, apalagi dengan tindak kriminal dalam dunia pemerintahan. Disini pers digunakan sebagai alat negara untuk membentuk opini masyarakat supaya dalam benak mereka, dalam pemerintahan ini kondisi stabilitas nasional terasa aman tentram sesuai apa yang ada dalam pemberitaan dalam media. Dalam sistem tersebut masyarakat tidak sadar dan tidak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi diluar sana.
Berbeda dengan sistem pers libetarian, bagaimana sebuah hak kebebasan dalam hal ini sangat dijunjung tinggi. Dalam hal ini pers dikatakan mandiri dari kekuasaan pemerintahan yang ada. Dengan kata lain, pengaruh dari pemerintah terhadap kerja media/ pers tidak bisa dicampur adukan. Dalam sistem ini, terdapat sistem hukum yang melindungi hak kebebasan setiap individu untuk berapresiasi menyampaikan pendapat dsb.
Di indonesia sendiri, sistem pers libetarian juga terasa keberadaannya. Misalnya terdapat UU yang menyakatan kebebasan setiap individu untuk bebaas menyampaikan pendapatnya. Tetapi bebas yang mempunyai pengertian terikat dengan hukum dan nilai tertentu. Bebas boleh bebas, tetapi bebas itu dilandasi dan diikat dengan rasa tanggung jawab.
Untuk pemerintahan pada masa sekarang ini, dikatakan otoriter tidak, ke otoriteran pemerintah terhadap pers sudah tak seperti zaman orde baru dulu. Dan dikatakan liberal juga tidak sepenuhnya liberal. Buktinya masih banyak UU yang mengatur sebuah kebebasan. Seperti UU APP yan sering menjadi sebuah isu akan pro dan kontranya undang-undang tersebut.